Kamis, 24 Oktober 2013

Inspirasi

Akhir-akhir ini aku merasa kalau Tuhan selalu memberikan motivasi-Nya kepadaku tepat saat aku sedang berada di 'tepi jurang' keputusasaan. Dan apa yang sudah aku lalui itu menjadikanku sedikit lebih kuat dan membuatku selalu ingin bersyukur.
Aku selalu bertanya-tanya, berapa lama lagi sisa umurku di dunia ini? Berapa lama lagi aku masih bisa bersenang-senang? Berapa lama lagi aku masih bisa bersantai dan terlena di dalam zona nyamanku? Tidak ada yang tahu.
Hari Senin tepat tanggal 07 Oktober 2013, saat puluhan orang di sekelilingku terlihat sangat sibuk, aku hanya berdiam diri menikmati segelas kopi dengan sejuta kepenatan yang masih menggumpal di dalam tengkorak kepala dan di dalam rangka tulang rusukku. Seperti yang sudah aku bilang, Tuhan memberikan motivasi-Nya kepadaku, kali ini lewat sebuah buku.
Bila dibandingkan dengan umur sebuah bintang, maka sisa umurku untuk tetap bertahan hidup di dunia ini hanyalah sepersekian detik. Sangat kecil. Betapa kecilnya kita, dan betapa Agung-Nya Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Bila dilihat dari keutuhan galaksi Bima Sakti, kita hanyalah setitik debu halus yang bahkan tidak bisa dilihat hanya dengan sepasang mata manusia normal pada umumnya. Berawal dari sini aku semakin membuka mata bahwa aku hanyalah makhluk kecil yang hanya memiliki sedikit waktu untuk hidup, tidak seperti umur sebuah bintang yang mampu mencapai 1-100 milyar tahun lamanya. Lalu akan aku gunakan untuk apa sedikit waktu yang aku miliki itu? Untuk sibuk menyesali hidup dan masa laluku? Merutuki orang-orang yang mengataiku? Sibuk mengatai balik orang lain? Tidak! Aku tidak punya waktu untuk itu. Aku tidak ingin menghabiskan sedikit waktuku yang berharga hanya untuk hal-hal yang percuma.
 
Seorang bajak laut yang sukses bukan hanya hidup di lautan yang tenang ataupun di 'calm-belt' tanpa seekor sea king.

Untuk berlari dan melompat hingga bisa meraih sebuah kesuksesan, kita terkadang sangat membutuhkan hadirnya seekor 'anjing galak' tanpa rantai di lehernya dan dinding kokoh yang menjulang tinggi di tengah-tengah lintasan. Ketika kita banyak menemui hambatan ataupun tekanan, sebenarnya itu adalah sebuah cara bagaimana kita menuju sebuah kesuksesan. Namun juga tidak dapat dipungkiri kalau aku sendiri bahkan sering menyerah kalah bila sudah berhadapan dengan hambatan. Tapi mulai saat ini aku akan mencoba mensugesti bahwa hal itu tak lagi bernama 'hambatan' tapi telah berubah nama menjadi 'tantangan'.
Sudah sangat sering kita mendengar sebuah kalimat, "Hidup itu seperti roda berputar. Kadang berada di atas, kadang di bawah." Jadi ketika kita sudah mempersiapkan diri berada di puncak keberhasilan maka kita juga seharusnya sudah mempersiapkan berada di titik keterpurukan jauh dibawah puncak keberhasilan yang pernah kita raih sebelumnya. 
 

Rabu, 09 Oktober 2013

Seorang Gadis di Balkon

Dering bel berbunyi satu kali. Sudah waktunya istirahat. Semuanya bergegas merapikan buku dan alat-alat tulis dari atas meja. Setelah mengucapkan salam pada guru, sebagian besar murid berhamburan keluar kelas. Kebanyakan dari mereka pergi ke kantin, namun ada beberapa yang memilih untuk tetap tinggal, ataupun sekedar mengobrol dengan teman-teman dari kelas lain. Lalu aku?? :)


Aku lebih memilih untuk ke lantai dua yang sepi, di sana hanya ada aula dan ruang bahasa yang cukup jarang dipakai. Aku lebih suka menghabiskan waktu istirahatku di atas sana. Sendiri. Tanpa mengajak siapa pun. Aku menyukainya. 
Angin berhembus membelai wajahku, dan membuat rok berwarna biru gelapku ini menari-nari lembut. Kadang di sini aku bisa menghadirkan teman imajinerku. Namun terkadang aku ingin melamun sendiri. Kali ini aku hanya memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di bawah sana. Mulai dari kakak kelas yang populer dikelilingi 'dayang-dayang'nya, hingga seorang siswa yang menuntun sepeda kayuh menuju gerbang. 
Saat ini aku berada di tingkat satu sekolah menengah pertama yang cukup populer di Surabaya. Dan aku mengakui, tak sedikit orang yang populer di sini. Cantik, pintar, fashionable, tampan, kaya, atau dari keluarga dengan strata sosial yang cukup tinggi. Aku hanya bisa memperhatikan semua orang di sekolah ini, tanpa banyak berkomunikasi. Dan aku menikmatinya. Lalu siapa aku?
Aku hanya gadis yang kuper, cupu, tertutup, tidak memiliki banyak teman, bukan tergolong pintar untuk standart sekolah favorit ini, tidak cantik, tidak seksi, tidak menarik, tidak kaya, dan bukan dari keluarga terpandang. Hanya satu yang amat sangat memungkinkan mengapa orang lain bisa mengetahui siapa namaku. Aku perempuan tertinggi di sekolah ini. Ya, aku merasa seperti monster. Walaupun banyak yang menyinggung kata iri dengan kelebihanku ini, tapi tetap saja aku merasa aneh, kesal dan tidak percaya diri. Aku menarik diri dari orang lain yang kuanggap terlalu 'menyilaukan'. Karena aku sadar siapa aku dan siapa mereka. Aku seperti sekeping uang logam ditengah-tengah berlian dan permata.
~~~
Seteguk hot chocolate menghangatkan lambungku yang terasa kaku. Alunan musik akustik dan temaram lampu di dalam cafe kini menjadi teman akrabku akhir-akhir ini. Kali ini aku berpakaian agak rapi, karena malam ini aku akan bertemu dengan beberapa teman. Ya, akhirnya aku punya teman sekarang. Sedikit miris kedengarannya. Kulihat seorang wanita dengan rambut cepak memakai kaos longgar tanpa lengan berwarna hitam, kini menyanyikan lalu The Only Exception. Ketika sedang asyik menikmati lagu itu, penglihatanku terantuk pada seseorang diluar cafe. Dia sedang merapikan rambutnya yang terlihat berantakan. Entah mengapa aku merasa wajahnya tidak asing. Namun aku segera mengalihkan pandanganku ketika aku mendengar suara gaduh. Ternyata teman-temanku sudah datang. Usai berbasa-basi mereka harus segera bersiap-siap untuk tampil mengisi acara malam ini. Tinggallah aku dan seorang temanku, ia perempuan yang cantik dan juga terlihat bersahaja dengan kerudungnya yang rapi. 
Namun tak lama, seseorang dengan messy hair itu kini duduk tepat dihadapanku, di seberang mejaku, menghadap kearahku. Aku tertegun. Siapa dia?
"Tempatnya bagus, lumayan. Kamu suka tempat ini?" Ujarnya seraya melihat ke sekeliling. Aku diam. Dia lalu memesan segelas minuman tanpa terasa terusik dengan tatapanku yang penuh curiga. Setelah itu sepasang mata dihapanku ini mulai menatap mataku. Dalam, namun hangat. 
"Apa kamu tidak megenaliku? Kamu perempuan yang dulu sangat suka berada di balkon kan? Juga terkadang suka duduk di meja guru sebelum jam pelajaran dimulai." Aku tertegun kedua kalinya. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya dan curiga. Aku tak menemukan jawaban.
Tiba-tiba seluruh cahaya padam. Aku tidak bisa melihat. Ada apa ini? Apakah listriknya padam? Aku menoleh kearah kiri dan kanan, namun tak kutemukan sedikitpun cahaya. Dadaku sesak sangat sesak seperti ada yang menekan dadaku. Aku berusaha mendorong apapun dihadapanku yang berusaha membuatku tak bisa bernafas. Aku mencoba mendorong dengan sekuat tenaga.
Tapi........
Aku membuka mata dengan nafas tersengal-sengal. Kedua tanganku menggantung di udara. Aku berada di dalam kamarku. Kuraba keningku, untuk memastikan apakah aku demam. 
Keningku dingin, berkeringat. Aku mengatur nafas dan mencoba memutar kembali ingatan di mimpiku. Namun semakin aku berusaha keras mengingatnya, gambaran mimpiku itu semakin kabur. Tak kuingat dengan jelas siapa saja yang ada di sana. Segera kuenyahkan usaha konyol itu. 
"Haah, itu hanya mimpi, Po!"