Minggu, 22 Juli 2012

Jo

*beberapa tahun yang lalu, sewaktu aku masih duduk di bangku SD*

Aku berjalan santai menuju rumah seseorang. Ketika aku baru saja sampai di depan pagar depan rumahnya, kulihat punggungnya. Aku tersenyum. ENtah, setiap kali melihatnya aku selalu ingin tersenyum. Dia bergerak enerjik mengikuti irama lagu yang berdentum-dentum. Aku juga melihat dua orang yang mengikuti gerakan tubuhnya. Tapi aku tidak tertarik. Aku lebih suka mengamati dia. Dia seperti memiliki magnet tersendiri yang selalu sukses mencuri perhatianku. Entah bagaimana bagi orang lain.


Dia membalikkan badan, membuat rambut lurusnya yang setinggi bahu itu bergoyang lembut. Dia tersenyum, dan memanggilku masuk. Aku duduk saja di dalam seraya masih mengamatinya. Aku memang bukan gadis cantik yang populer saat itu. Aku hanya gadis pendiam yang lebih suka 'menepi'. Tapi entah aku sangat menyukai bagaimana cara dia membuatku merasa nyaman dengan segala perlakuannya kepadaku. Safety. Aku merasa aman bersamanya.
Dia jauh lebih tua dariku, tapi dia benar-benar bisa membuatku merasa masa-masa kecilku menjadi berwarna karenanya. Mungkin baginya aku bukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa. Tapi entah, aku memandangnya sebagai gadis luar biasa yang 'perkasa'. :D

*beberapa tahun kemudian*

"Ka Anez", bisikku perlahan ketika aku hendak melepas mukenaku. Dia berada dua shaf lebih depan dariku, terlihat sibuk berbenah melipat mukenanya yang sudah ia lepas. Aku bisa melihatnya dengan sangat jelas dari sudut kiri belakangnya. Aku tersenyum. Apa dia masih ingat aku? Aku rasa tidak. Biar sajalah. Tapi aku tetap saja betah memandanginya. Seperti yang biasa aku lakukan beberapa tahun yang lalu. Tak banyak yang berubah darinya. 
Gadis kurus, putih mulus, rambutnya hitam lurus setinggi bahu. berkacamata, dan memiliki garis wajah yang cukup tegas. Cantik namun terlihat tangguh. Enerjik, mungkin itu kata yang tepat untuknya. 
Aku teringat, semua letupan kegembiraan ketika berada di dekatnya dulu seketika sirna sewaktu aku mulai beranjak dari umur 10 tahun dan aku hampir tidak pernah melihatnya lagi. Aku merindukan sosoknya. Merindukan kenyamanan yang aku rasakan ketika berada di dekatnya.
Aku hanya bisa bertemu dengannya saat aku libur panjang dan ketika sempat singgah ke rumah mama. Sebelum itu pun aku sudah sangat merindukan hari libur agar bisa bertemu dengan Ka Anez. Tapi sejak mama lebih sering ke rumah nenek, aku bahkan tak pernah lagi bertemu. Pernah suatu saat aku memikirkan siapa sebenarnya nama panjang Ka Anez. Aku sempat memberanikan diri bertanya kepada mama siapa nama panjangnya. Tapi nihil, mama ternyata juga tidak tahu. Aku menerka dengan jutaan imajinasiku yang liar. Bahkan di tengah-tengah pelajaran pun aku masih sempat memikirkan siapa nama lengkapnya. Lalu terbersitlah sebuah kata. Johanez. Itukah? Itukah namanya? Singkatan dari Anez?
Aku mulai membuat 'teman-ilusi'ku. Teman ilusi seperti di film kartun kesukaanku dulu. Hikaru No Go. Film lama memang. Aku menginginkan aku punya teman seperti Fujiwara Sai. Walaupun jelas berbeda namun intinya sama. Hanya aku yang tahu siapa 'Sai' ku, tidak ada orang lain yang dapat melihat dan tahu tentang 'Sai'. 


Namun aku tidak ingin memanggil teman-ilusi ku ini dengan nama panggilan teman perempuan yang aku gadang-gadang itu. Maka, aku lebih nyaman memanggilnya dengan 'Jo' dari kata 'Johanez'. Ya. Jo. Dia yang menemaniku dengan setia, menjadi pendengarku yang paling setia. Yang menguatkanku karna aku percaya bahwa aku tidak sendiri, ada 'Jo' yang menemaniku. Walaupun aku tahu dan sadar bahwa Jo hanya ilusiku. Ilusi yang telah menghilang namun hingga kini masih saja terkenang.


Imaginary Friend


Aku, gadis berusia 9 tahun dengan sejuta kediaman yang aku miliki. Dan tak banyak orang yang tahu, mengenai temanku yang ilusi. :)
Ah, itu bis kota yang akan menuju ke arah rumah mamaku. Aku dan tanteku bergegas naik. Aku lebih suka dan selalu memilih tempat duduk di dekat jendela. Alasannya? Karena di situ aku aku bisa 'berbincang-bincang' dengan teman ilusi atau teman khayalanku. Bis ini berjalan lambat menanti penumpang, aku sudah tidak sabar menunggu bis ini melaju cukup kencang di jalan tol. Aku menunggu dengan sikap tak sabar, selain karena gerah, pak supir pun terlihat belum berniat untuk menginjak pedal gas. Aku hanya bisa pasrah menunggu. Ketika bis ini mulai melaju, aku merapikan posisi tubuhku senyaman mungkin dan melihat ke luar melalui jendela bis. Ketika bis mulai melaju cepat, pembatas jalan di tol ini selalu menarik perhatianku. Dan selalu aku ajak 'berbicara', tidak secara langsung memang. Hanya di dalam hati. Semacam telepati. Hehee. Aku menyebut teman perjalananku yang ilusi itu dengan sebutan 'Jo' dari kata 'Johanez'.
Aku tumpahkan apa saja yang aku rasakan kepadanya. Walaupun percakapan yang aku lakukan seperti terkesan satu arah dan menggantung, aku merasa senang karna ada yang 'mendengarkan'ku tanpa mengeluh letih mendengar ocehan-ocehan sampahku
.

Namun hal itu mulai sangat jarang aku lakukan ketika umurku mulai beranjak dari 10 tahun. Aku semakin jarang ke rumah mama. Karna justru mama yang lebih sering ke rumah nenek yang sekarang aku tinggali. 'Pertemuan'ku dengan Jo menjadi tak lagi intens. Aku resah, karna aku bingung ingin 'membuang' keluh-kesahku dimana. Dan semenjak itu setiap kali aku sendiri, berjalan sendirian di jalan. Aku kembali ke kebiasaan itu, 'berbincang' dengan Jo. Walaupun ketika aku sedang sendiri tapi aku merasa berani, meskipun aku sadar betul bahwa Jo hanyalah ilusiku.
Namun, entah sejak kapan, teman-temanku sering berada di sampingku. Kami tertawa bersama-sama, bercerita walau kadang tidak banyak yang aku ceritakan karna aku paling tidak suka ditertawakan atau diremehkan. Sehingga perlahan aku jadi tidak pernah lagi 'berbincang' dengan Jo. Dan pernah sekali waktu aku menyadari hal itu, seketika aku 'memanggil' Jo, meminta maaf karna tak lagi sering 'berbincang' dengannya. Dan semenjak itu Jo-ku pun perlahan menghilang.
Aku memang tergolong tertutup karna aku dibesarkan di keluarga yang cukup 'tertutup' pula. Di keluargaku seperti selalu ada batas yang sangat jelas antara yang tua dan yang muda. Rasa hormat seperti terasa begitu kental. Sehingga terkadang aku kurang merasakan kedekatan. Aku hanya merasa dekat dengan nenek. Tapi nenekku pun tidak selalu ada untukku, mendengarkan keluh-kesahku, dan ucapan-sampahku. Karna itu aku lebih memilih untuk mencari 'teman ilusi'. Dan itu seringkali mengganggu fikiranku. Apa aku ini waras? Wajarkah aku bersikap seperti itu? Memiliki imajinasi yang cukup 'aneh'? Entah, aku rasa aku butuh psikolog untuk menemukan jawabannya. :)

Rabu, 18 Juli 2012

Explosion


Berdiri di atas batu karang selayaknya menantang ombak untuk bertarung melawan.
Setiap bunyi deburan ombak menampar karang, semakin membuat gemuruh di dalam rongga dada.
Rahangnya mengatup keras, matanya terpejam mencoba mengambil alih kendali diri.
Tak sadar tangannya menggenggam begitu kuat, namun seketika ia menyadari itu lalu membuka matanya dan membuka setiap jemarinya yang saling merapat.
Namun dengan terbukanya mata, kendali diri itupun lenyap tenggelam dalam teriakan amarah memecah ombak.
Lagi-lagi tubuhnya bergerak tanpa ada perintah.
Jemari-jemari di kedua tangannya mencoba mencengkram dadanya sendiri, mencoba meraih apa yang ada di dalam rongga dadanya yang terasa sangat sakit.
Semakin keras ia menjerit perih.
Kedua tangannya yang tak mampu meraih apa yang ia rasakan saat itu, kini semakin liar menyakiti tubuhnya sendiri.
Jemari-jemarinya menyusup ke dalam rambutnya, meraih, mencengkram, dan menariknya dari kedua sisi.
Jeritannya semakin perih dan semakin serak..
Semakin serak, dan akhirnya melemah..
Airmatanya tumpah ruah, raganya melemah, lututnya tak mampu lagi menopang tubuh.
Seakan tulang punggungnya turut melemah, ia tak mampu lagi duduk, raganya jatuh lemas di atas karang dengan hantaman ombak yang tak ramah.
Suaranya semakin melemah, namun airmatanya masih tetap gigih mengalir.
Tubuhnya lemas, tak mampu lagi untuk menuruti perintah emosinya.
Yang tersisa hanya isakan yang sesekali terdengar. Kadang melemah, kadang menguat dengan isakan yang terdengar seperti robekan.
Begitupun salah satu sisi tangannya yang sesekali tetap berupaya mencengkram apa yang ada di dalam rongga dadanya yang terasa perih.
Gaunnya basah oleh percikan ombak, namun ia tak punya peduli.
Ia membiarkan raganya bereaksi sesuka hati.
Lelah. Raga, fikiran, dan hati.
Tak ada kata nanti bahkan esok.
Karna 'sekarang' saja sudah sangat gelap baginya.
Tidak ada satupun yang datang.
Dan ia sadari itu.
Hanya saja, ia membiarkan apa yang akan terjadi padanya.
menunggu, menunggu ketidakpastian akan hidup yang akan ia jalani selanjutnya.
Hidup yang mungkin akan sangat berbeda.
Semoga.

"For You Mine :')"




Hari terakhir di kotamu..
Banyak hal yang aku tau dari kamu sekarang, banyak hal yang aku belajar dari kamu sekarang.. Many thanks to you my lady, for the love, care, every hug and kiss that you give to me, I really in love with you. :')

Akhirnya gak pacaran sama handphone ya 4 hari ini, 4 hari sama kamu, 4 hari tau kamu, 4 hari yang bikin aku paham cara kamu sayang aku itu gimana. Makasi sayang, rasanya kalo mau bilang itu langsung bawaannya mau nangis. :'D ada hal yang bikin gak rela buat jauh lagi sama kamu, tapi ada hal yang bikin aku harus pulang ke kota aku. Ada monster skripsi nih yang nungguin aku di sana, kasi aku semangat terus ya, biar cepet selese dan aku bisa ketemu kamu lagi, ntar kita cari mas" matahari royal itu, kita cari apa dia udah jadi mungkin sama cewe yang dia suka setelah ngomong "APAKAH MUNGKIN??" Hahahaha.. Ntar lah kita touring angkot yang berujung pulang naek taksi lagi, mungkin ntar aku bakal beli buket bunga aja, gak syekuntum (SEKUNTUM ayank *emot protes*) lageeh hahaha.. banyak yang belum aku ubek" di Surabaya ini :D next time aku bakal tinggal agak lama buat nemenin kamu setelah semua kelar disana.. (Hmmm, apakah mungkin??)

Aku pulang, gak sempet ngelewatin bulan ke-17 itu bareng" sama kamu :') kalo Tuhan kasih izin sama kita, aku pasti balik buat ngerayain aniv. taun kedua sama kamu nanti. Sayang terus sama aku ya, kamu yang aku butuhin Popo bukan orang lain :') 4 hari sama kamu, 4 hari di kota yang SUPER HOT! Yang bikin aku selalu bangun pagi karena kegerahan, dan jadwal kuliah kamu yang maksa aku buat ikut bangun pagi bareng sama kamu. Makasih banyak sayang, aku harap setelah ini hubungan aku sama kamu jadi makin baik. Amien.

"Nanti akan ada ribuan layang-layang bertuliskan kata rindu yang terbang melayang ke kota ini setelah aku pulang, masikah nanti kamu mau menunggu aku (lagi) untuk kembali kesini?"

Love you mine,
-bubu- 


I can't hate you, galz

Pernah ga sih kalian itu ga suka ama sikap seseorang? Terlebih lagi dia sohib kamu? Sakit ga sih? Hufh, itu yang aku rasain sekarang.
Jujur aku sakit hati. Jujur aku memang ga suka ama sikapnya itu. Bisa dibilang BANGET. Tapi tolong donk ada kesadaran ga sih? Oke kayaknya aku tahu rasanya dia memang ga terlalu respect sama aku. Oke fine, padahal identitas aku aja belum kebuka secara gamblang dan ternyata dia sudah ga se-respect ini. Hm, oke aku terima. Ga semua sahabat yang kita kenal itu selalu ngertiin gimana ada di posisi kita. Ga semua sahabat itu bisa nurutin semua yang jadi kemauan kita. Karna apa? Karna itulah dia, itulah mereka dengan jati diri mereka dan kepribadian 'unik' mereka masing-masing. Begitu pula dengan aku. Aku dan kepribadianku sendiri. 
Aku membiarkan diriku sendiri untuk sengaja menarik diri dari mereka. Hanya ingin mengetahui sejauh mana mereka sadar bahwa aku menjauh. Oke katakanlah aku memang marah, sangat marah. Aku memang sakit hati. Sangat sakit hati bila teringat lagi saat itu. Tapi entah, aku sendiri tidak terlalu suka dengan pertikaian sebenarnya. Aku hanya ingin memaafkan, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu peduli apakah aku dimaafkan olehnya atau tidak, selama aku sudah berinisiatif untuk meminta maaf. Aku tahu, aku orang yang sangat sensitif dan emosional. Terserah mereka mau menerimaku apa adanya atau tidak Tapi aku ingin memulainya dari diriku sendiri. Mencoba menyadarkan diriku sendiri bahwa itulah dia. Itu memang dia. Lagi-lagi, nobody's perfect, poe. Ga ada orang yang sempurna di dunia ini. Tapi bagaimana caranya agar kita bisa menerima orang lain secara sempurna,  tanpa mempermasalahkan kekurangan orang lain. :)

Kamu



Aku merasa sangat beruntung. Ya, menjadi gadis yang sangat biasa saja dengan kekurangan yang tak terbatas. :')
Tuhan mengirimkan seseorang ke kehidupanku yang semula tampak abu-abu. menggoreskan tinta-tinta yang semakin hari semakin jelas terlihat semburat warna yang tampak berbeda di setiap perspektif.
Kamu. Seseorang yang menerimaku apa adanya. Menemaniku di setiap tangis dan tawa. Meladeni dengan sangat sabar bahkan ketika aku sedang emosi berat. Memiliki kadar maaf yang luar biasa atas semua kesalahan yang aku lakukan. 
Kamu. Membuat aku yang merasa terkucil ini menjadi istimewa. Cukup bagiku menjadi seseorang yang istimewa di matamu, walaupun orang lain tidak melihatku seperti layaknya kamu melihatku.
Aku bahagia, sungguh. Aku bersyukur, sangat. Atas hadirnya kamu di kehidupanku. Thx God. :')


Minggu, 08 Juli 2012

AkuKamu

Aku lirik jam digital di atas meja di samping tubuhku. Pukul 11.25. Aku pulang terlalu pagi ternyata. Aku regangkan seluruh bdanku, lalu meringkuk di atas sofa ruang tengah. Tanganku mencoba merogoh ke dalam tas yang aku letakkan di ujung sofa, mencari-cari handphone bututku yang selalu aku bawa kemana-mana. Aku putar lagu favoritku, Adele - Make you feel my love. Aku tekan pilihan repeat agar lagu itu terus diputar berulang-ulang. Aku coba memejamkan mata. Aku ingin tidur, sebentar saja.
Entah sudah berapa lama aku terpejam, tapi aku merasa ada seseorang yang mengusap-usap kepalaku. Ah, wangi parfum ini. Musky. Hmm, apa ini hanya ilusi? Apa ini hanya mimpi? Kepalaku terasa sedikit pening saat aku mencoba membuka mata. Aku melihat sepasang mata sedang melihatku dengan teduh. Bulat dan berkilat lembut. Ah, seringai itu. Jelas, aku ingat siapa yang ada dihadapanku. Tapi ada yang berbeda. Entah, apa karena aku masih belum sepenuhnya sadar atau memang ada yang berbeda darinya. Hatiku masih ragu, apa benar ini nyata? Apa memang ini mimpi? Terlalu aneh. Sejak kapan dia memiliki tatapan mata seperti itu? Apa aku yang baru menyadarinya?
Aku seperti terhipnotis seketika dengan tatapan itu. Yang sangat ingin aku lakukan saat ini hanya memeluknya. Tapi entah justru aku tidak melakukannya, aku hanya diam. Ia meraih tanganku, mengaitkan tanganku dengan tangannya. Lalu mencium punggung tanganku seraya tersenyum.  Ia pun bangkit dan beranjak dari hadapanku. Ah, menuju dapur rupanya. Aku juga mencoba bangkit, namun tiba-tiba saja aku memutuskan untuk duduk di ujung sofa saja, di atas sandaran lengan. Aku hanya bisa mengamati punggungnya, mencoba menerka apa yang ia lakukan di dapur sana. Seseorang berambut cepak itu menoleh ke arahku tanpa memutar badan seraya tersenyum lebar. Aku masih belum bisa bereaksi. Lalu aku putuskan mendekatinya, mencari tahu apa yang sedang ia lakukan. Aku melihat dari balik bahunya, seekor kucing kecil berwarna abu-abu dengan pita besar di punggung lehernya. Tanpa komando apapun, ia memutar badannya ke arahku tanpa mengindahkan kucing kecil itu. Memelukku seraya tertawa begitu renyah. Aku tersenyum mendengarnya tertawa seperti itu. Aku hanya mengusap kepalanya sesaat, lalu ia mengambil kucing kecil itu. Menggendong, dan mengarahkannya tepat di depan wajahku. Ia tertawa riang. Kembali memelukku, lalu menatapku tersenyum dengan menghujamiku lagi dengan tatapan teduh-penuh-arti. Entah, karena apa, tetapi ia terlihat sangat bahagia. Tanpa sadar aku pun ikut tersenyum. Mencoba ikut meraih kucing abu-abu itu. Namun....
Aku dikejutkan getaran dari handphoneku. Ketika aku hendak meraih handphone itu, seketika aku sadar. Aku masih berada di atas sofa, meringkuk. Aku melihat sekeliling sepi, dan tidak ada seorang pun. Aku menghembuskan nafas panjang dan membisikkan sesuatu untuk diriku sendiri, "seharusnya memang aku sadar itu hanya mimpi." Aku mengambil handphone yang masih saja memutar lagu Adele. Aku membuka tombol kunci dan muncul sebuah alarm pengingat. Terlihat sebaris tulisan terpampang di layar handphoneku, "10th Anniversary" dengan background fotoku bersamanya saling merangkul dan tertawa bersama. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Kalau saja kita bisa pergi dari sini dan tidak mengindahkan seseorangpun. Akankah Anniversary kita  ini dapat menjadi hari pernikahan kita? Mungkin. Seperti mimpi kita. Menikah di kiblat fashion itu. Kemungkinan pastilah ada, bukan? Aku ingin menghapus jarak diantara kita, dan tanpa ada dinding pembatas apapun. Entah dalam arti sesungguhnya atau dalam kiasan. AkuKamu. Sedekat itu, tanpa ada spasi maupun kata 'dan'.