Jumat, 10 Agustus 2012

Anaphalis Javanica



Aku duduk menghadap meja bundar di ujung ruangan. Menatap sebuah bunga yang tampak sangat mungil. Bunga itu kini menyisakan beberapa helai memori, pun dengan ruangan ini. Mereka menjadi saksi bisu akan memori yang tak terjamah. Bunga yang kutemui diatas gunung berjubah kelabu halus. Bunga yang mengejutkanku, menutupi apa yang telah aku bangun. Sama ketika aku melihat gunung itu. Dahulu mungkin tidak seperti yang kulihat sekarang, bahkan mungkin jauh lebih indah. Tapi siapa yang bisa menghentikan kehendak Tuhan? Dengan kebesaran-Nya, apapun bisa saja terjadi. Bahkan perubahan ini. Sekarang, di depanku, yang kulihat hanyalah permadani kelabu membentang panjang nan luas, dan aku hanya seperti setitik debu diantaranya. Dan dibalik cerita pilu itu, tersisa sebuah cindera dari-Nya, guratan-guratan indah penuh memori. Setiap lekukan, setiap kerikil yang tersebar, dan material panas itu menggemakan tangis dan jeritan pilu bagi sebagian orang. Mungkin kita tidak akan pernah bisa mengerti, selain melihat apa yang tersisa dan terlihat indah namun terlihat menyeramkan bagi mereka. 
Setiap peninggalan meninggalkan filosofi. Bahkan sebuah bunga kecil ini. Aku mungkin tidak terkesan dengan tampilan luarnya yang tidak seindah bunga sakura. Mungkin aku tidak begitu tertarik dengan baunya yang tidak seharum bunga mawar. Tapi sebuah arti yang terlampir di dalamnya itu yang selalu sukses menikam ujung ruang di balik rongga dadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar