Kamis, 24 Oktober 2013

Inspirasi

Akhir-akhir ini aku merasa kalau Tuhan selalu memberikan motivasi-Nya kepadaku tepat saat aku sedang berada di 'tepi jurang' keputusasaan. Dan apa yang sudah aku lalui itu menjadikanku sedikit lebih kuat dan membuatku selalu ingin bersyukur.
Aku selalu bertanya-tanya, berapa lama lagi sisa umurku di dunia ini? Berapa lama lagi aku masih bisa bersenang-senang? Berapa lama lagi aku masih bisa bersantai dan terlena di dalam zona nyamanku? Tidak ada yang tahu.
Hari Senin tepat tanggal 07 Oktober 2013, saat puluhan orang di sekelilingku terlihat sangat sibuk, aku hanya berdiam diri menikmati segelas kopi dengan sejuta kepenatan yang masih menggumpal di dalam tengkorak kepala dan di dalam rangka tulang rusukku. Seperti yang sudah aku bilang, Tuhan memberikan motivasi-Nya kepadaku, kali ini lewat sebuah buku.
Bila dibandingkan dengan umur sebuah bintang, maka sisa umurku untuk tetap bertahan hidup di dunia ini hanyalah sepersekian detik. Sangat kecil. Betapa kecilnya kita, dan betapa Agung-Nya Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Bila dilihat dari keutuhan galaksi Bima Sakti, kita hanyalah setitik debu halus yang bahkan tidak bisa dilihat hanya dengan sepasang mata manusia normal pada umumnya. Berawal dari sini aku semakin membuka mata bahwa aku hanyalah makhluk kecil yang hanya memiliki sedikit waktu untuk hidup, tidak seperti umur sebuah bintang yang mampu mencapai 1-100 milyar tahun lamanya. Lalu akan aku gunakan untuk apa sedikit waktu yang aku miliki itu? Untuk sibuk menyesali hidup dan masa laluku? Merutuki orang-orang yang mengataiku? Sibuk mengatai balik orang lain? Tidak! Aku tidak punya waktu untuk itu. Aku tidak ingin menghabiskan sedikit waktuku yang berharga hanya untuk hal-hal yang percuma.
 
Seorang bajak laut yang sukses bukan hanya hidup di lautan yang tenang ataupun di 'calm-belt' tanpa seekor sea king.

Untuk berlari dan melompat hingga bisa meraih sebuah kesuksesan, kita terkadang sangat membutuhkan hadirnya seekor 'anjing galak' tanpa rantai di lehernya dan dinding kokoh yang menjulang tinggi di tengah-tengah lintasan. Ketika kita banyak menemui hambatan ataupun tekanan, sebenarnya itu adalah sebuah cara bagaimana kita menuju sebuah kesuksesan. Namun juga tidak dapat dipungkiri kalau aku sendiri bahkan sering menyerah kalah bila sudah berhadapan dengan hambatan. Tapi mulai saat ini aku akan mencoba mensugesti bahwa hal itu tak lagi bernama 'hambatan' tapi telah berubah nama menjadi 'tantangan'.
Sudah sangat sering kita mendengar sebuah kalimat, "Hidup itu seperti roda berputar. Kadang berada di atas, kadang di bawah." Jadi ketika kita sudah mempersiapkan diri berada di puncak keberhasilan maka kita juga seharusnya sudah mempersiapkan berada di titik keterpurukan jauh dibawah puncak keberhasilan yang pernah kita raih sebelumnya. 
 

Rabu, 09 Oktober 2013

Seorang Gadis di Balkon

Dering bel berbunyi satu kali. Sudah waktunya istirahat. Semuanya bergegas merapikan buku dan alat-alat tulis dari atas meja. Setelah mengucapkan salam pada guru, sebagian besar murid berhamburan keluar kelas. Kebanyakan dari mereka pergi ke kantin, namun ada beberapa yang memilih untuk tetap tinggal, ataupun sekedar mengobrol dengan teman-teman dari kelas lain. Lalu aku?? :)


Aku lebih memilih untuk ke lantai dua yang sepi, di sana hanya ada aula dan ruang bahasa yang cukup jarang dipakai. Aku lebih suka menghabiskan waktu istirahatku di atas sana. Sendiri. Tanpa mengajak siapa pun. Aku menyukainya. 
Angin berhembus membelai wajahku, dan membuat rok berwarna biru gelapku ini menari-nari lembut. Kadang di sini aku bisa menghadirkan teman imajinerku. Namun terkadang aku ingin melamun sendiri. Kali ini aku hanya memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di bawah sana. Mulai dari kakak kelas yang populer dikelilingi 'dayang-dayang'nya, hingga seorang siswa yang menuntun sepeda kayuh menuju gerbang. 
Saat ini aku berada di tingkat satu sekolah menengah pertama yang cukup populer di Surabaya. Dan aku mengakui, tak sedikit orang yang populer di sini. Cantik, pintar, fashionable, tampan, kaya, atau dari keluarga dengan strata sosial yang cukup tinggi. Aku hanya bisa memperhatikan semua orang di sekolah ini, tanpa banyak berkomunikasi. Dan aku menikmatinya. Lalu siapa aku?
Aku hanya gadis yang kuper, cupu, tertutup, tidak memiliki banyak teman, bukan tergolong pintar untuk standart sekolah favorit ini, tidak cantik, tidak seksi, tidak menarik, tidak kaya, dan bukan dari keluarga terpandang. Hanya satu yang amat sangat memungkinkan mengapa orang lain bisa mengetahui siapa namaku. Aku perempuan tertinggi di sekolah ini. Ya, aku merasa seperti monster. Walaupun banyak yang menyinggung kata iri dengan kelebihanku ini, tapi tetap saja aku merasa aneh, kesal dan tidak percaya diri. Aku menarik diri dari orang lain yang kuanggap terlalu 'menyilaukan'. Karena aku sadar siapa aku dan siapa mereka. Aku seperti sekeping uang logam ditengah-tengah berlian dan permata.
~~~
Seteguk hot chocolate menghangatkan lambungku yang terasa kaku. Alunan musik akustik dan temaram lampu di dalam cafe kini menjadi teman akrabku akhir-akhir ini. Kali ini aku berpakaian agak rapi, karena malam ini aku akan bertemu dengan beberapa teman. Ya, akhirnya aku punya teman sekarang. Sedikit miris kedengarannya. Kulihat seorang wanita dengan rambut cepak memakai kaos longgar tanpa lengan berwarna hitam, kini menyanyikan lalu The Only Exception. Ketika sedang asyik menikmati lagu itu, penglihatanku terantuk pada seseorang diluar cafe. Dia sedang merapikan rambutnya yang terlihat berantakan. Entah mengapa aku merasa wajahnya tidak asing. Namun aku segera mengalihkan pandanganku ketika aku mendengar suara gaduh. Ternyata teman-temanku sudah datang. Usai berbasa-basi mereka harus segera bersiap-siap untuk tampil mengisi acara malam ini. Tinggallah aku dan seorang temanku, ia perempuan yang cantik dan juga terlihat bersahaja dengan kerudungnya yang rapi. 
Namun tak lama, seseorang dengan messy hair itu kini duduk tepat dihadapanku, di seberang mejaku, menghadap kearahku. Aku tertegun. Siapa dia?
"Tempatnya bagus, lumayan. Kamu suka tempat ini?" Ujarnya seraya melihat ke sekeliling. Aku diam. Dia lalu memesan segelas minuman tanpa terasa terusik dengan tatapanku yang penuh curiga. Setelah itu sepasang mata dihapanku ini mulai menatap mataku. Dalam, namun hangat. 
"Apa kamu tidak megenaliku? Kamu perempuan yang dulu sangat suka berada di balkon kan? Juga terkadang suka duduk di meja guru sebelum jam pelajaran dimulai." Aku tertegun kedua kalinya. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya dan curiga. Aku tak menemukan jawaban.
Tiba-tiba seluruh cahaya padam. Aku tidak bisa melihat. Ada apa ini? Apakah listriknya padam? Aku menoleh kearah kiri dan kanan, namun tak kutemukan sedikitpun cahaya. Dadaku sesak sangat sesak seperti ada yang menekan dadaku. Aku berusaha mendorong apapun dihadapanku yang berusaha membuatku tak bisa bernafas. Aku mencoba mendorong dengan sekuat tenaga.
Tapi........
Aku membuka mata dengan nafas tersengal-sengal. Kedua tanganku menggantung di udara. Aku berada di dalam kamarku. Kuraba keningku, untuk memastikan apakah aku demam. 
Keningku dingin, berkeringat. Aku mengatur nafas dan mencoba memutar kembali ingatan di mimpiku. Namun semakin aku berusaha keras mengingatnya, gambaran mimpiku itu semakin kabur. Tak kuingat dengan jelas siapa saja yang ada di sana. Segera kuenyahkan usaha konyol itu. 
"Haah, itu hanya mimpi, Po!"

Jumat, 21 Juni 2013

Membeku

"Seandainya bisa terulang kembali saat pertama bertemu antara kau dan aku. Kau genggam jemari tanganku. Terbuai indahnya kata cinta terucap olehmu. Manis. Manis yang kurasa. Ku tak rela cintaku berakhir. Sayangnya kini aku tak mengerti, begitu berat rasa ingin memelukmu. Tapi ku hanya bisa mengingatmu, karena kau tak pernah tahu tentang rasa ini. Hilang. Hilang yang kurasa. Ku tak rela cintaku berakhir. Dirimu yang selalu temani khayalku. Tatap mataku, rasakan tangisku agar kau tahu. Karena ku biasa denganmu dahulu di setiap waktu."
~~~
Mengeja setiap kata seraya menatap pada kuasa Tuhan yang menjulang membelah awan. Senja akan menyambut malam dan aku harus segera pulang. Kulit mengecap kedinginan senja, dan tersesap hingga ke tulang. Dalam sekejap, otakku pun berbisik. "Hatimu pun telah menjadi dingin dan beku, bukankah begitu?" Aku menghentikan langkah, bersiap-siap terhadap sesuatu yang akan menggerus rongga dadaku. Aku menunggu. Satu detik, dua detik, tiga detik... Satu menit. Aneh. Aku tidak merasakan apapun kali ini. Benarkah hatiku benar-benar sudah membeku? Ah, masa bodoh. Aku tersenyum tipis seraya melanjutkan langkah kakiku. Mungkin memang benar hatiku sempat membeku. Namun sekarang tidak lagi. Sudah ada beberapa orang yang menghangatkannya secara bergantian. Walaupun berbeda, namun yang pasti aku jauh lebih bahagia. Bukankah kebahagiaan itu sebuah pilihan?! Ya, aku memilih jalanku sendiri, dan membuat diriku sendiri mencari setitik cahaya yang menghangatkan.


Selasa, 18 Juni 2013

Photo Album


Membuka setiap lembaran album foto pernikahan kakak. Melihat setiap wajah yang terpampang hanya dalam sepersekian detik. Namun nyatanya aku tidak menemukan satupun foto ibu. Nyeri. Jujur, rongga dadaku sesak. Aku menutup album foto, dan menghela nafas panjang. Risau menggerakkan kakiku untuk melangkah entah kemana. Seperti sedang mencari sebuah jalan pelarian. Ah, atau hanya sekedar ingin mengalihkan perhatianku sesaat. Sebentar saja. Hanya sebentar.
~~~
Secangkir teh hangat buatan Mama terangkul mesra oleh telapak tanganku. Lagi-lagi bibirku terkatup, namun otak dan hatiku beradu mulut. Nenek tiba-tiba saja menyodorkan album itu, agar aku dapat melihat dengan jelas di ruang tamu saat matahari tampak malu, mengintip dari balik awan-awan yang muram. Dalam hati aku menghembuskan nafas panjang. Aku membolak-balik tak berminat. Hingga sampai di lembaran terakhir dan sampai aku kembali sibuk menyimak pergulatan antara otak dan hatiku.


~~~
"Mama mau nunjukin sesuatu. Kamu sudah tau?"
Aku menoleh kearah kiri, Mama tampak sedikit antusias. Lalu ada yang berbisik di ujung hatiku. Suaranya seperti balita, dia berkata, "Adik." Aku terkesiap dalam hati, namun ragaku tetap terkontrol dengan baik. 
"Ini adikmu, ini Ibumu juga. Ibu yang lain. Ayahmu dulu sempat menikah dengannya. Yang ini putrinya, sudah besar ya?" 
Aku hanya melirik, tenggorokanku tercekat. Aku sudah menduga suatu saat aku pasti tahu wajahnya meski lewat foto saja. Otakku tak mampu berkata apa-apa, tapi hati ini mengoceh tak karuan. Mama menyodorkan foto itu kepangkuanku. Tak bisa kubayangkan saat dia berkata kepada kakak-kakakku bahwa dia sangat ingin bertemu denganku. Antara sebal, sedih, dan iba. Entah. Wajahnya itu benar-benar sangat memprihatinkan. Maaf. Maksutku, raut wajahnya itu tampak seperti tak ada kebahagiaan yang pernah menyapa di kehidupannya. Daaaaaaannnnn, bila dibandingkan dengan ibunya... Tidakkah lebih modis ibunya? Hey, adikku ini tidak diberi model baju yang lebih bagus lagi?? Ibunya pun aku akui cukup cantik. Haaaahh, sebal rasanya, ingin sekali aku membelikan baju yang lebih bagus dari yang ia kenakan di foto ini. Hatiku seketika menampik. Sudah pedulikah aku dengan adik 'baru'ku itu? Haaaahhh, entahlah. Aku tutup album foto itu, dan meneguk tehku yang tak lagi hangat dengan hati yang terus menampar-nampar diri.

Senin, 17 Juni 2013

Gate

Aku duduk menumpu dagu di ujung lutut seraya mengayun-ayunkan kaki yang menggantung di satu sisi yang lain. Ditengah-tengah lamunan, aku dikejutkan oleh kehangatan yang tiba-tiba hadir meraba pundakku. Ayunan kaki mendadak kaku ketika pundak ini mulai merasakan ada beban yang menumpu. Tepat disamping telingaku terdengar hembusan nafas panjang dan berat. Tanpa menolehpun aku tahu siapa yang ada disebelahku. Bergelanyut tanpa ada rasa ragu. Aku tahu pasti dia telah mencoba dengan sekuat tenaga sehingga seperti ini sekarang. Aku tersenyum di dalam hati. Walaupun tak lama, tapi aku tahu itu pasti membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Aku bahagia. Bukan karena dia merupakan seseorang yang dulu pernah mengisi seluruh rongga organ vital, dan menggantikan fungsi cairan serebrospinalku. Tapi karena dia telah membuka gerbang yang semula tertutup. Merobek tirai kecanggungan yang menyelubungi kami selama ini. Terima kasih. :)

 

Senin, 13 Mei 2013

Diamku

Mungkin kamu bahkan beberapa orang diluar sana mengeluh ketika aku hanya sibuk berkutat dengan duniaku sendiri. Alam lamunan yang kuciptakan tanpa ada yang boleh menyentuh bahkan mengintip walau sejenak. Aku mampu memunculkan kembali sejarah ke atas permukaan fikiranku, tanpa ragu dan tanpa ada celatu. 

Aku selalu nyaman dalam kediaman. Karna dalam diam aku bisa menghidupkan ekspresiku di dalam dada. Diamku tak berarti sunyi. Aku merasa bising dengan segala celotehan yang bersautan antara hati dan fikiran. Tak ada yang bisa bungkam, mungkin hanya bibirku saja. Aku membiarkan semuanya tumpah ruah dalam diamku. Diam yang mungkin tidak akan pernah bisa dimengerti siapapun. Tapi akankah ada seseorang yang mampu membaca diamku ini?? Seseorang yang akan mengatakan, "Aku mendengar sejuta kata dalam diammu. Aku bisa merasakan isakmu dalam raga yang tak berguncang. Keluh kesahmu bercerita padaku dengan caranya sendiri. Aku selalu menyediakan sebidang pundak untuk sekedar menyandarkan keningmu ketika kau merasa letih mendengar gemuruh dalam dadamu sendiri."


Kamis, 04 April 2013

I just wanna be FREE


Ketika raga tidak mampu menuruti kehendak hati membuatku benar-benar sesak. Aku membutuhkan ruang atau media dimana aku bisa menjadi diriku sendiri, dan dapat mengekspresikan diri sesuka hati. Bahkan diujung hari ini mataku masih saja terjaga dengan sangat baik. Terbayang sederet kalimat yang bergelantungan di dalam fikiranku. Satu kalimat yang diucapkan cukup halus oleh keluargaku dan dengan sukses membuatku terpaku akhir-akhir ini. 

"Jangan terlalu akrab sama dia." 
Dua pasang mata dihadapanku ini jelas terlihat sedang menyelidik gerak-gerikku. Aku pura-pura tidak peduli seraya berlagak sibuk menikmati martabak yang masih hangat. Tanpa sepatah katapun aku langsung saja beranjak dari hadapan mereka dan tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Sangat malas untuk memperpanjang topik pembicaraan itu. Tabiatku ini benar-benar sudah mengakar rupanya.

Aku ingin berteman dengan siapa pun, dan aku juga ingin mencintai siapa pun yang aku mau. Bukankah ada yang mengatakan bahwa kasih sayang tidak mengenal usia, gender, dan status? Tapi mengapa pada kenyataannya berbeda? Aku ingin dengan bebas menunjukkan seperti apa diriku, aku ingin dengan bebas mengatakan apa yang ingin aku katakan, aku ingin dengan bebas menunjukkan ke semua orang siapa orang yang aku cintai dan aku ingin dengan bebas melakukan semuanya tanpa ada rasa khawatir dan tanpa ada rasa takut. Terlalu banyak pertimbangan yang menghambat dan menghalangi. Rasanya ingin menertawakan diri sendiri. Berteriak dalam diam, namun tetap saja tanpa hasil. Namun jelas, di sini yang ingin kuutarakan adalah aku menginginkan suatu kebebasan menjadi diriku. Entah itu dimana dan bagaimana aku bisa menemukannya. Dan aku rasa, bukan hanya aku yang merasakan hal ini. Mungkin salah satunya adalah kamu yang sedang membaca tulisanku ini.

Jumat, 08 Maret 2013

Like a Diamond

"Roitr er Morwa"
Dengan headset terpasang di telingaku aku memasuki ruang kuliah yang sudah cukup ramai. Aku lihat jam dinding di dalam ruangan, "10 menit lagi," bisikku pada diriku sendiri. Aku memilih tempat duduk yang aku rasa tidak terlalu mencolok. Tanpa melihat sekitar dan memperhatikan sekeliling aku langsung saja duduk dan pura-pura menyibukkan diri. 
Aku bukan orang yang mudah bergaul di kampus ini. Jadi aku lebih banyak diam tanpa harus menegur setiap nama teman-teman sekelasku.
Aku mengeluarkan handphone dan terus berpura-pura menyibukkan diri. Tiba-tiba tanpa sadar aku menoleh ke samping kiri, dan tanpa sengaja kedua bola mataku beradu pandang dengan seseorang. Sebelum detik kedua, aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah yang lain. Tidak ingin beradu pandang dengannya terlalu lama. "Mungkin saja dia hanya kebetulan sedang melihat ke arahku, tanpa ada maksut untuk memperhatikanku. Ya, pasti seperti itu," hiburku pada diriku sendiri agar ragaku dapat terkontrol dengan baik, dan supaya dia tidak menyadari gerak-gerikku yang aneh karena salah tingkah. 
Tidak lama dosen sudah memasuki kelas. Aku sedah melepas headsetku dan sekarang beralih menyibukkan diri dengan coretan-coretan tanpa arti di lembaran-lembaran kertas. Hanya ingin sekedar menghilangkan kejenuhan. Sesekali aku melihat ke arah dosen, hanya sekedar terlihat seperti sedang serius menyimak apa yang ia katakan. Tapi tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan mual. Semanjak bangun tidur tadi kepalaku memang sedikit lebih berat daripada biasanya. Walaupun aku sering mengalami hipotensi ortostatik, hanya saja aku memang menyadari kali ini memang sedikit berbeda. Tanpa sadar aku memegang kening lalu leher dengan punggung tangan kananku. Aku menghembuskan nafas cukup berat. Ketika aku hendak kembali menorehkan tinta di atas kertas yang sudah cukup berantakan itu, aku lagi-lagi melihat ke arah dosen, dan terbersit fikiran apakah dia masiiihh..... "Apa dia sedari tadi memperhatikanku?" pikirku ketika aku menyadari kami beradu pandang untuk kedua kalinya. Lagi-lagi sebelum detik kedua aku sudah mengalikan pandanganku.
Perkuliahan ditutup dengan pemberian tugas yang benar-benar bisa membuatku gila. Aku merutuk dalam hati, namun sebelum aku beranjak dari kursi ada yang menghampiriku seraya menyodorkan catatan kecil. Aku menengadah dan kulihat wajahnya hanya dalam jarak kurang lebih satu meter dari wajahku. Hanya berbekala kata "Ini.." lalu ia berlalu begitu saja. 
Aku semakin terkejut. "Hahh??" aku mendesah penuh tanya ke arah punggungnya yang tak lagi menoleh ke arahku. Aku melihat catatan kecilnya, dan kulihat ada beberapa topik yang bisa kujadikan bahan tugasku, beserta sumber-sumber referensi yang bisa kupakai. Aku semakin terkejut. Apa dia membaca fikiranku? Aku semakin bingung. Aku terdiam cukup lama, niatku segera meninggalkan ruangan ini sirna entah kemana. Masih saja tenggelam dalam kebingunganku. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" fikirku lambat. Aku menghembuskan nafas panjang, merutuki diriku yang benar-benar telmi. Aku bergegas beranjak dari kursi, berlari mencarinya. Namun dalam waktu 2 detik pandanganku memudar. Aku berhenti sejenak seraya memegangi kepalaku yang sangat sakit dan berat. Ketika aku sudah merasa stabil, aku berlari lagi mencarinya.
"Ah itu dia." Aku melihatnya diseberang trotoar bersama dengan seorang wanita. Kulihat ia tertawa renyah seraya merangkul pundaknya. Dia terlihat...bersinar seperti berlian. Aku melihat jalanan sangat padat, dan terik matahari hari ini sangat menyengat. Aku mencoba menyeberang untuk menemuinya. Ketika traffic light sampai pada warna merah, aku bergegas berlari menuju ke arahnya dan tiba-tiba saja pandanganku kembali memudar. Putih. Aku tidak bisa merasakan lagi pijakan kakiku. Ada yang memanggil namaku. Aku mendengarnya, tapi semakin lama semakin memudar. Gelap.


Kamis, 10 Januari 2013

Pertanyaan Beraroma Sengit

Mungkin beberapa orang selain aku pernah ngerasain gimana menjadi seorang presenter di hadapan kumpulan manusia dengan beribu tatapan tajam layaknya sembilu dan dengan lidah berbisa yang siap mematikan apapun yang ada di hadapan mereka kapan pun mereka mau. Oke, kata-kata lebay-nya cukup sampe di situ aja. Hehee. Di sini aku (lagi-lagi) cuman pengen sharing aja tentang kondisi yang lumayan sering di hadapi mahasiswa. Presentasi.
Mungkin sebagai seseorang yang memiliki ego dan harga diri yang cukup tinggi, aku seringkali harus mempersiapkan dengan matang materi yang akan aku presentasikan, sehingga bagaimana pun juga presentasi tersebut harus berjalan dengan lancar dan dapat membuatku merasa puas. Namun ketika suatu waktu harus dihadapkan dengan audience yang cukup menguras emosi dan pikiran, di situ lah jantungku seperti sedang menaiki permainan roller coaster. 
Sebetulnya aku sendiri sangat setuju, dengan adanya pernyataan yang mengatakan bahwa, budaya bertanya itu sangat penting dimana hal tersebut dapat mendorong atau memicu kita untuk menjadi lebih berkembang dan lebih kreatif. Selain itu melalui sebuah pertanyaan kita dapat mempertimbangkan segala bentuk kemungkinan-kemungkinan yang akan kita hadapi, dan dapat kita jadikan sebuah pelajaran dan bahan evaluasi. Namun bagaimana bila pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah memiliki aroma-aroma sengit? Haah.. Jujur sebenarnya aku sangat tidak lihay dalam mengatasi permasalahan seperti ini.
Mungkin dari situ aku bisa berkaca "Apakah aku sudah cukup matang dalam menguasai materi yang aku sajikan?" "Apakah aku sudah cukup bijaksana dalam menghadapi berbagai bentuk pertanyaan yang diajukan?" dan "Apakah aku sudah cukup bersikap dewasa dalam menghadapi situasi pelik dalam hujaman pertanyaan yang 'menusuk'?
Oke, sangat bisa dipahami bahwa di dunia ini sangat banyak bentuk karateristik pribadi seseorang. Ada yang gampang 'nrimo', ada yang tutur katanya lembut, bersahaja, bijaksana, bahkan ada pula yang cukup lugas, tegas dan kadang menyakitkan. Walaupun mungkin terkadang mereka tidak ada maksut untuk menjatuhkan. Ya, bagaimana pun juga toh harus kita hadapi walaupun dengan mengeluarkan keringat yang banyak dan cukup menguras emosi. Hehee. Eh, tapi jangan salah lho, waktu kita berhadapan dengan situasi seperti itu secara tidak langsung kita dapat memupuk pahala, banyak-banyak istighfar dan menyebut nama Tuhan. Wkwkwk.. :p
Pada intinya, hidup ga selalu lurus-lurus aja, ga selalu berjalan sesuai sama apa yang kita harapkan. Kadang kita jatuh dan tumbang di dalam presentasi kita sendiri. Namun sebaiknya kita lihat dari segi positifnya saja, kan. Jadikan hal itu untuk tidak mudah menyerah, tunjukkan pada mereka bahwa kita bisa lebih baik. Tunjukkan pada mereka bahwa kita sangatlah pantas untuk dihargai. Ada saatnya kita jatuh, tapi ingat bahwa ada saatnya pula kita bangkit dan berada di puncak kejayaan kita sendiri, dan jangan sia-sia kan hal itu dengan segala bentuk penyesalan dan keterpurukan yang berkepanjangan. Banyak cara untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita berharga, bahwa kita istimewa dan layak meraih kata 'Bangga'.
Aku menulis ini khususnya untuk diriku sendiri, mempersiapkan hari-hari ke depan yang menurutku akan cukup berat. Dan ketika aku melihat tulisanku sendiri, aku bisa sedikit 'tertampar' dan tetap termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Tidak ada kata menyerah dan putus asa. Ambisius sudah mulai aku suntikkan ke dalam pembuluh darahku secara perlahan, agar aku tidak lagi menjadi seseorang yang lemah dan mudah terpuruk oleh hal-hal yang kecil. Sekian. :)