Jumat, 21 Juni 2013

Membeku

"Seandainya bisa terulang kembali saat pertama bertemu antara kau dan aku. Kau genggam jemari tanganku. Terbuai indahnya kata cinta terucap olehmu. Manis. Manis yang kurasa. Ku tak rela cintaku berakhir. Sayangnya kini aku tak mengerti, begitu berat rasa ingin memelukmu. Tapi ku hanya bisa mengingatmu, karena kau tak pernah tahu tentang rasa ini. Hilang. Hilang yang kurasa. Ku tak rela cintaku berakhir. Dirimu yang selalu temani khayalku. Tatap mataku, rasakan tangisku agar kau tahu. Karena ku biasa denganmu dahulu di setiap waktu."
~~~
Mengeja setiap kata seraya menatap pada kuasa Tuhan yang menjulang membelah awan. Senja akan menyambut malam dan aku harus segera pulang. Kulit mengecap kedinginan senja, dan tersesap hingga ke tulang. Dalam sekejap, otakku pun berbisik. "Hatimu pun telah menjadi dingin dan beku, bukankah begitu?" Aku menghentikan langkah, bersiap-siap terhadap sesuatu yang akan menggerus rongga dadaku. Aku menunggu. Satu detik, dua detik, tiga detik... Satu menit. Aneh. Aku tidak merasakan apapun kali ini. Benarkah hatiku benar-benar sudah membeku? Ah, masa bodoh. Aku tersenyum tipis seraya melanjutkan langkah kakiku. Mungkin memang benar hatiku sempat membeku. Namun sekarang tidak lagi. Sudah ada beberapa orang yang menghangatkannya secara bergantian. Walaupun berbeda, namun yang pasti aku jauh lebih bahagia. Bukankah kebahagiaan itu sebuah pilihan?! Ya, aku memilih jalanku sendiri, dan membuat diriku sendiri mencari setitik cahaya yang menghangatkan.


Selasa, 18 Juni 2013

Photo Album


Membuka setiap lembaran album foto pernikahan kakak. Melihat setiap wajah yang terpampang hanya dalam sepersekian detik. Namun nyatanya aku tidak menemukan satupun foto ibu. Nyeri. Jujur, rongga dadaku sesak. Aku menutup album foto, dan menghela nafas panjang. Risau menggerakkan kakiku untuk melangkah entah kemana. Seperti sedang mencari sebuah jalan pelarian. Ah, atau hanya sekedar ingin mengalihkan perhatianku sesaat. Sebentar saja. Hanya sebentar.
~~~
Secangkir teh hangat buatan Mama terangkul mesra oleh telapak tanganku. Lagi-lagi bibirku terkatup, namun otak dan hatiku beradu mulut. Nenek tiba-tiba saja menyodorkan album itu, agar aku dapat melihat dengan jelas di ruang tamu saat matahari tampak malu, mengintip dari balik awan-awan yang muram. Dalam hati aku menghembuskan nafas panjang. Aku membolak-balik tak berminat. Hingga sampai di lembaran terakhir dan sampai aku kembali sibuk menyimak pergulatan antara otak dan hatiku.


~~~
"Mama mau nunjukin sesuatu. Kamu sudah tau?"
Aku menoleh kearah kiri, Mama tampak sedikit antusias. Lalu ada yang berbisik di ujung hatiku. Suaranya seperti balita, dia berkata, "Adik." Aku terkesiap dalam hati, namun ragaku tetap terkontrol dengan baik. 
"Ini adikmu, ini Ibumu juga. Ibu yang lain. Ayahmu dulu sempat menikah dengannya. Yang ini putrinya, sudah besar ya?" 
Aku hanya melirik, tenggorokanku tercekat. Aku sudah menduga suatu saat aku pasti tahu wajahnya meski lewat foto saja. Otakku tak mampu berkata apa-apa, tapi hati ini mengoceh tak karuan. Mama menyodorkan foto itu kepangkuanku. Tak bisa kubayangkan saat dia berkata kepada kakak-kakakku bahwa dia sangat ingin bertemu denganku. Antara sebal, sedih, dan iba. Entah. Wajahnya itu benar-benar sangat memprihatinkan. Maaf. Maksutku, raut wajahnya itu tampak seperti tak ada kebahagiaan yang pernah menyapa di kehidupannya. Daaaaaaannnnn, bila dibandingkan dengan ibunya... Tidakkah lebih modis ibunya? Hey, adikku ini tidak diberi model baju yang lebih bagus lagi?? Ibunya pun aku akui cukup cantik. Haaaahh, sebal rasanya, ingin sekali aku membelikan baju yang lebih bagus dari yang ia kenakan di foto ini. Hatiku seketika menampik. Sudah pedulikah aku dengan adik 'baru'ku itu? Haaaahhh, entahlah. Aku tutup album foto itu, dan meneguk tehku yang tak lagi hangat dengan hati yang terus menampar-nampar diri.

Senin, 17 Juni 2013

Gate

Aku duduk menumpu dagu di ujung lutut seraya mengayun-ayunkan kaki yang menggantung di satu sisi yang lain. Ditengah-tengah lamunan, aku dikejutkan oleh kehangatan yang tiba-tiba hadir meraba pundakku. Ayunan kaki mendadak kaku ketika pundak ini mulai merasakan ada beban yang menumpu. Tepat disamping telingaku terdengar hembusan nafas panjang dan berat. Tanpa menolehpun aku tahu siapa yang ada disebelahku. Bergelanyut tanpa ada rasa ragu. Aku tahu pasti dia telah mencoba dengan sekuat tenaga sehingga seperti ini sekarang. Aku tersenyum di dalam hati. Walaupun tak lama, tapi aku tahu itu pasti membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Aku bahagia. Bukan karena dia merupakan seseorang yang dulu pernah mengisi seluruh rongga organ vital, dan menggantikan fungsi cairan serebrospinalku. Tapi karena dia telah membuka gerbang yang semula tertutup. Merobek tirai kecanggungan yang menyelubungi kami selama ini. Terima kasih. :)