Sabtu, 28 April 2012

Sebuah Analogi

Seorang wanita sedang memegang dan memandangi selembar kertas di tangannya. Berdiri di antara ilalang yang dengan lembut mengusap-usap kaki telanjang wanita itu. Rambutnya tergerai, melambai senada dengan gerakan ilalang. Ujung bibirnya mengulum senyum tipis dengan mata yang berkilat lembut. Perlahan ia menurunkan tangannya seraya melangkah perlahan keluar dari kumpulan ilalang yang memeluk kakinya yang jenjang. Kini ia berpijak di atas  rumput-rumput liar yang tidak terlalu tinggi. Perlahan ia memposisikan tubuhnya berbaring dengan nyaman. Tangan kanannya yang berada di samping tubuhnya tertekuk sehingga pergelangan tangan yang memegang kertas itu berada di samping kepala. Ia mencoba menutup matanya dan bayang-bayang itu kembali hadir. 

"Seseorang berdiri di hadapannya, memandang jauh ke dalam matanya. Memegang tangannya seraya mengucapkan salam perpisahan. Meninggalkan kenangan, sekuntum bunga, dan sepucuk surat yang tak terduga. Wanita itu hanya terdiam, matanya berkilat lembut. Tersenyum lalu membalas salam perpisahan itu dengan sebuah pesan yang sangat lazim diucapkan. 
Berlalu begitu saja, dengan sangat cepat. 
Wanita itu berbalik menjauh, menarik nafas dalam seraya menengadah ke atas langit. Suara bising di kota besar itu seraya terhisap entah kemana, seketika di telinganya mendadak hening. Tapi ia terus melangkah tanpa berbalik, tanpa melihat kebelakang. Namun ketika terdengar bunyi kereta di balik dinding perbatas yang ada di samping tubuhnya, ia hanya bisa menatap dinding itu, matanya hanya bisa berusaha membelah dan menerobos mencari-cari wajah seseorang. Ia tersenyum miris, dan berbisik lirih. Ilusi.


Ia menatap bunga dan sepucuk surat yang ia pegang. Mengamati setiap detilnya. Ia putuskan membaca setiap kata yang tak sempat terucap oleh seseorang. Membaca dengan perlahan. Matanya berkilat lembut, dan...berair... Setelah wanita itu selesai membaca, terdengar suara kereta melaju perlahan di balik dinding dihadapannya. Sesaat ia  menatap dinding itu, lalu segera berlalu dengan airmata yang terus mendesak keluar dari ujung matanya."

Terasa sesak, ia membuka matanya, seketika airmata itu tumpah kembali. Wanita itu terduduk, menghapus airmatanya lalu menengadah. Mencoba menenangkan hatinya sendiri.
Membisikkan sebait lirik..
"I have died everyday waiting for you,, Darlin' don't be afraid,, I have loved you for a thousand years,, I'll love you for a thousand more.." 
 

4 komentar: