Senin, 28 September 2015

Sekedar Renungan Ala-ala

Kala sendiri aku punya banyak waktu untuk kembali merenung 
Apa yang salah dari diriku
Apa saja yang telah aku lakukan 
Baik atau buruk 
Bermanfaat atau tidak 
Apakah aku sejauh ini bahagia atas apa yang telah aku pilih 
Apa aku telah membuat orang disekitarku bahagia 
Atau justru aku membuat mereka merana 
Maju atau mundur ataukah sama? 
Ah bukan sebenarnya pilihannya sama
Sama-sama maju 
Hanya pijakannya saja yang berbeda 
Entah yang mana yang akan membuatku jatuh terperosok 
Ah aku tak lagi peduli aku akan jatuh terperosok atau tidak 
Jika memang terperosok aku akan coba bangkit lagi 
Kalaupun tak lagi bisa kembali pasti ada jalan lain 
Semakin hari aku harus semakin baik 
Karna aku tak lagi punya banyak waktu dan kesempatan 
Semakin hari dunia semakin matang 
Semakin berkembang pesat
Jika aku lambat maka aku akan cepat dilumat 
Aku sadar memang aku bukan siapa-siapa 
Aku tak punya apa-apa 
Aku tak bisa apa-apa 
Tak ada kata terlambat untuk belajar 
Selagi masih ada waktu dan kesempatan 
Meski sempit harus segera kukejar. 

Absurd

Aku memegangi dadaku. Rasanya ada yang menjejali sesuatu. Hingga rasanya ingin terbatuk-batuk. Tak terasa aku sudah megap-megap di atas meja operasi sesaat sebelum aku jatuh terlelap. Saat sadar aku masih bisa merasakan nyeri di dadaku. Atmosfir di sekelilingmu menggambarkan duka, tp hela nafas mereka sedikit demi sedikit menghapuskannya. Mungkin mereka membayangkan aku sudah tiada beberapa jam yg lalu. Pintu masuk dibuka dengan kasar. Sang pelaku menerobos masuk tergesa-gesa dengan nafas tersengal. Matanya tajam menatap kearahku. Dia masih terlihat mengenakan seragam kerja namun sedikit berantakan. Aku masih saja memegangi dadaku yang nyeri seraya terpekur melihat kehebohan yang dia ciptakan. "Siapa yang suruh kamu pergi??!!" 
Nadanya menurun tepat di kata 'pergi'? 
Aku bertanya namun tak ada suara "pergi? Pergi kemana?" 
Sontak ia pun berteriak lagi di depan wajahku "Siapa yang suruh kamu sakit kayak gini???!!" 
Aku tertegun. Bingung. Dadaku semakin nyeri.
Semua orang di dalam di ruangan berkerumun mengelilinginya. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa fokus mendengarkan perbincangan mereka, aku terlalu sibuk menenangkan rasa sakit di dadaku ini. Tapi sepertinya raut mereka tampak lega. Begitupun dia. 
Lalu aku terbangun. Bengong. Menyadari bahwa itu adalah mimpi yang absurd. 

Intermezzo

Malam ini pukul 7.38. Aku duduk sendiri dengan meluruskan kaki di sofa ruang tengah. Membaca sebuah buku dari seorang sastrawan senior. Karyanya sudah aku baca sedari aku duduk di bangku sekolah dasar bahkan hingga sampai kini masih segar di ingatan. Tulisannya membawaku merasakan kisah kasih yang matang meski memang terkesan zadul untuk penikmat bacaan seusiaku. Aku hampir selalu tertegun dengan tokoh yang ia ciptakan di buku genggamanku. Di sela-sela membaca aku sempatkan untuk meneguk teh hangat sekedar untuk menenangkan batinku karena ingatanku yang tidak sopan melesat terbang jauh ke masa lalu. Kisah ini bukan seperti kisahku. Nama tokohnya pun tak mirip denganku. Bahkan seperti aku sedang menyimak kisah tante atau pamanku. Aku terbengong-bengong hingga tertidur dengan diiringi musik yang terdengar bagai alunan suara romantis rintik air hujan