Rabu, 17 Februari 2016

Perkara Hidup

Mungkin aku satu2nya atau bahkan ada saja orang lain yang mempunyai pemikiran yang sama. Pertanyaan yang sepertinya sepele tapi kadang membuat kepala pening berputar-putar.
Siapa aku? Apa tujuanmu hidup? Mengapa kita dibiarkan hidup? Adakah kehidupan sebelum aku hidup? Darimana asalnya pertanyaan2 itu? Darimana gagasan2 atas jawaban itu? Dan lain sebagainya.
Apa hanya aku yang justru bertanya 
"Apa itu sungguh penting saat ini?"
Maksudku bukankah itu layaknya pertanyaan-pertanyaan anak kecil? 
Tapi apakah anak-anak kecil sudah mempunyai pertanyaan semacam itu? 
Hahahaa.
Rasanya aku sudah mulai pening. 
Jika boleh aku berspekulasi,
Mungkin hadirnya filsafat dan para filosofis masa lalu yang rela menghabiskan seluruh hidupnya mengenai pertanyaan2 mendasar ini karena ingin menuangkan setidak segelas penuh air dingin kepada orang2 yang mungkin letih berlari-lari seperti seekor hamster di roda putarnya yang hanya berputar2 di tempat.
Mungkin ada saatnya kita lelah, kemudian merenung dan bingung, atau bahkan bosan. 
Mulai memikirkan pertanyaan2 di atas.
Disitulah setidaknya ada sedikit penghapus dahaga 
Atau bahkan bila ada saja yang mencibir atas pertanyaan itu 
Mungkin bisa jadi dia sudah menjadi manusia mekanik otomatis, menjadi budak harapan kebiasaan
Ya dia bernafas, bekerja, makan dan minum, bersenang-senang di akhir pekan. Begitu saja terus.
Jadi...
Apakah memang itu yang disebut hidup? 

Sesedih itukah Kau Hujan?

Aku mendekat ke arah jendela.
Bulir-bulir air hujan masih tampak segar 
Bagaimana bisa seluruh manusia di dunia ini menyetarakan kamu dengan kesedihan mereka? 
Apakah kamu memang benar2 bersedih?
Ataukah justru kamu sedang haru karna akhirnya kamu kembali bertemu dengan daratan yang telah lama kau rindukan?
Semua tampak melambat, seraya ikut larut dalam haru biru mendalam yang kau tularkan. 
Seperti sesuatu yg salah bila kau menari-nari dan bersenang-senang kala hujan. 
Kecuali anak-anak kecil yang masih terlalu lugu dan menganggap semuanya hanya sekedar hal yang perlu dimain-mainkan.
Orang-orang yang patah dan berduka semakin tersedu meski bbrp memendamnya dalam diam. 
Seakan hujan dengan sukarela memainkan violin. 
Mengalun lembut, menarikmu semakin dalam ke palung kesedihan.

Merutuk Sendiri

Kata siapa hidup itu adil? 
Seseorang dengan kecacatan fisik tidak mampu mengiyakan akan dilahirkan tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa penglihatan, atau tanpa pendengaran. 
Tidak ada pilihan ketika kau lahir. 
Kau jelek, berkulit hitam, kribo, dan pendek?
Pernahkah kau ditawarkan untuk memilih menjadi seseorang pria gagah yang tampan nan kaya?
Kadang hanya bisa menatap nanar pada mereka yang sungguh beruntung memiliki kesempurnaan maya.
Sekedarnya saja. 
Masih saja tak percaya? 
Ketika singa merayap pelan-pelan dan seekor rusa menyadari pantat kurusnya itu sedang dijadikan target, ia memohon agar tak dimangsa karna ia memiliki banyak anak-anak yang masih kecil. 
Kau pikir singa itu berbelas kasih? Melewatkan begitu saja santapan siangnya setelah perutnya sudah cukup lama mengering?
Tidak. 
Tidak ada keadilan bagi seekor rusa.
Begitulah.
Macam lain dari ketidakadilan, ketika seseorang mengkhianatimu tapi justru dia yang mengakhirinya sedang kamu telah memaafkan dan mencoba memperbaiki.
Tapi keputusannya tak terpatahkan, tak terbantahkan.
Kau masih bilang hidup itu adil? 
Tidak. 
Hidup itu tidak mengenal keadilan. 
Hukum Tuhan dan akhirat yang mengenalnya dengan baik. 
Jika kau percaya itu. 
Tidak! 
Kau HARUS percaya!

Senin, 08 Februari 2016

Menyerah Berarti Mati

Aku belajar memahami dan akhirnya jatuh hati padanya. 
Saat emosi membuncah, disimpannya saja di dalam dada. Rapat-rapat, meski tak jarang terasa sesak bahkan penat. Dalam diamnya ia mengucapkan banyak kata, doa, dan cerita. Dalam kehampaan, ia mencoba meredamkan amarah yg harus terus dilawan. Dan dalam kesunyian, ia pun mendapatkan kekuatan. Mungkin batinnya lelah, tapi ia jelas tak mau kalah. Menyerah berarti mati, mati dibunuh emosi.
Senja tak henti-hentinya membuatku jatuh cinta. Meskipun aku paham pada akhirnya yg akan menjadi hadiahku hanya seuntai gelapnya malam.

Selasa, 02 Februari 2016

Untung Saja...

Seseorang membaca kata demi kata di sebuah halaman buku yang ada di pangkuan
Sesekali keningnya berkerut merasa ada sesuatu yang tak sesuai dengan hati nurani dalam dada
Angannya jauh terlempar ke masa yang tak pernah ia tahu sebelumnya
Ia menutup buku sejenak dan menempelkan ke arah dada
Dipeluknya cukup erat mungkin agar lebih hangat karna yang ia baca terasa sangat dingin hingga membuat jantungnya menggigil 
Ia bersyukur dalam hati karena tidak pernah hidup di masa2 mengerikan masa lalu yang keji
Tapi sesaat kemudian ada yang mengetuk pelan labirin2 si pemikir
Angannya terlontar lebih jauh, hingga ke masa yang tak lagi dikenali dan yang tak terbatas
Mungkin saja satu, dua, lima, sepuluh dekade yang akan datang akan ada yang serupa dengannya
"Untung saja aku tak hidup di zamannya. Dimana mereka sungguh sangat senang hidup di dunia hingga lupa menyiapkan segala sesuatu yang akan ia hadapi saat ia nanti mati"

Bagaimana Cara Membahagiakanmu?

Aku menumpu dagu di atas tahta yang kau bangun untukku
Berbagai cara kulakukan untuk membuatmu ikut merasakan keagungannya 
Tapi kau selalu saja enggan dan menolak 
Bahkan saat kau terpaksa menerimanya gurat wajahmu tak menunjukkan kebahagiaan yg jelas
Lalu aku pun berdiri lantas menyibakkan jubah panjang yang pernah kau berikan 
Agar tubuhku tetap hangat katamu 
Aku menuju pilar dan memandang kamu yang masih saja sibuk memeriksa hasil ladang
Pertanyaan itu kini tak dapat lagi menunggu
Aku pun menghampirimu lalu menumpahkan semua pertanyaan yang terus berteriak menuntut jawabmu 
Tapi kamu cukup tersenyum dan kata-katamu melemahkanku 
"Bagaimana bisa kamu membuatku tak bahagia? Jika kebahagiaanku adalah dirimu"