Selasa, 29 Maret 2016

Pada senja, buku, dan (mungkin) dia

Jatuh hati pada seseorang yang membuatmu harus benar-benar mau meluangkan waktumu untuknya 
Menyiapkan dengan ikhlas waktu khusus untuknya 
Membuatmu mencarikan tempat yang pas dan pantas untuknya 
Membuatmu menentukan waktu yang tepat untuk mendengarkan ia bercerita 
Ia bukan seseorang yang mudah kau mengerti 
Sehingga jika kau duduk di depannya dan hanya pura-pura menyimak sedang pikiranmu jauh terpisah dari raga 
Maka kamu akan tersesat 
Sia-sia saja 
Ia akan berlalu begitu saja tanpa kau pahami makna kehadirannya di kehidupanmu 
Ia lain daripada yang lain 
Yang bila tak kau hiraukan pun ia takkan peduli
Ia hanya menguji 
Akankah kau bertanggung jawab atas apa yang telah kamu pilih

Kurang Ajar Betul Aku Ini

Aku menyadari bahwa umurku di dunia tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan umur sebuah bintang di atas sana 
Aku menyadari bahwa aku ini adalah setitik debu halus bila dibandingkan dengan besarnya alam raya kita 
Aku menyadari bahwa aku hanyalah riak yang amat sangat kecil dari luasnya samudra yang tak bertepi
Lalu pikiranku yang gila ini mencoba menempatkan diri dalam kosmik 
Kita tak pernah tau ada berapa galaksi di luar sana karena keterbatasan kita 
Atau ada yang lebih besar dari itu dan lebih besar lagi dan lebih besar lagi 
Bisakah kau bayangkan betapa amat sangat kecilnya aku ini? 
Mungkin saja berjuta2 bintang dan banyaknya galaksi yang kita kenal ini ada dalam tempurung Yang Maha Segalanya 
Oleh karena itu Dia tahu segala sesuatu yang terjadi
Oleh karena itu Dia mampu mengatur segala hal yang telah Dia ciptakan
Ah apa aku ini panteis? Ah tidak-tidak. 
Aku terlalu takut akan hukuman yang akan Dia berikan karna aku begitu lancang berfikir
Kurang ajar betul aku ini!

Serasional itukah?

Ada beberapa hal yg cukup mengganggu pikiranku sebenarnya 
Salah satunya begini
Mengapa bgitu banyak orang yang mengisahkan vampir, peri, puteri duyung, pegasus, unicorn, dan berbagai tokoh imajinasi lainnya 
Sempat aku beranggapan bahwa jauh-jauh di masa silam mereka benar-benar ada 
Namun tersembunyi dan beberapa mencoba untuk tetap diam dan menutupi 
Seakan-akan mereka makhluk yang memang perlu ruang privasi
Bukankah sifat manusia selalu ingin tahu 
Mungkin bila kehadiran mereka diketahui mereka akan diburu dan dijadikan eksperimen, dibedah, dan lain sebagainya
Bahkan beberapa akan menganggap mereka sebagai makhluk yang mengancam keberadaan manusia 
Bisa saja 
Siapa tahu 
Tapi lagi-lagi ada saja yang seenaknya melemparkan botol plastik berisikan kertas 
Yang tertulis "Hahaha. Kalian itu bodoh"
Kurang ajar betul kan? 
Mungkin memang iya, mungkin juga tidak 
Bahwa ada orang diluar sana yang memang sengaja menciptakan imajinasi itu 
Menciptakan situasi seakan-akan mereka (pernah) ada 
Pertanyaannya
Apakah hidup serasional itu?

Lilin itu Tidak Akan Pernah Padam

Matahari mulai tak sopan menggigit lengan-lengan yang telanjang.
Aku menerobos masuk secepat kilat ke dalam sebuah cafe yang cukup sejuk nampaknya. 
Memesan kopi seadanya. 
Lalu segera menghempaskan pantat seenaknya di dekat pendingin ruangan.
Hanya berbekal sebuah buku pendamping yang baru terbeli di toko sebelah. 
Aku mulai menghibur diri yang memang sedang sendiri tanpa teman. 
Terhenti pada suatu lembaran halaman.
Mencoba mengambil udara banyak-banyak dan membiarkan mataku istirahat sejenak. 
Entah karena jahil atau apa. 
Tapi mataku ini tersangkut pada sebuah tangan yang sangat aku kenal. 
Sayangnya bayang wajahnya tertutup di balik corak hiasan kaca penghalang.
Aku berdiri begitu saja. 
Jemari yang ku kenal itu sampai bisa aku rasakan dalam sekelebat angan. 
Dingin dan lembut seperti agar2 dalam kulkas. 
Aku pergi ke teras yang cukup panas lalu benar kutemukan pemilik jemari yang memang kukenal. 
Pandangannya menemukanku dan kedua pasang mata ini sama-sama berbinar. 
Mataku memeluk matanya. 
Tapi tangan kami hanya sebatas berjabat tangan sewajarnya.
Kutanya dengan siapa, dan ia jawab sedang sendiri saja.
Beruntungnya.
Kami berbincang mengacuhkan waktu yang terus saja mengetuk-ngetukkan jemarinya. 
Hingga malam pun datang. 
Di atas meja kami telah menyala lilin kecil yang berpendar. 
Dalam beberapa saat kami hanya terdiam. 
Saling khidmat dalam perdebatan api lilin yang melawan angin malam. 
Aku melirik menangkap sepasang mata yang tak kalah berbinar dibanding lilin di meja. 
Hey, kalian berdua.
Dengarkan aku sebentar saja. 
Aku pernah mencintainya. 
Pernah. 
Tapi tolong simpan saja.
Aku tak ingin ada luka. 
Luka yang akan merubah binar di matanya. 
Merubahnya menjadi tatapan kebencian tiada tara. 
Yang mungkin akan menatapku hina. 
Karena telah mengkhianati hubungan yang dianggapnya sudah sempurna.
Beginilah kami adanya. 
Dia akan selalu menjadi sahabat yang takkan pernah terlupa.

Sewajarnya

Jangan melulu mengikuti semua hal yang ingin kamu lakukan. Orang bisa menjadi budak dalam segala macam hal. Orang bahkan bisa menjadi budak dari egoismenya sendiri.