Selasa, 29 Maret 2016

Lilin itu Tidak Akan Pernah Padam

Matahari mulai tak sopan menggigit lengan-lengan yang telanjang.
Aku menerobos masuk secepat kilat ke dalam sebuah cafe yang cukup sejuk nampaknya. 
Memesan kopi seadanya. 
Lalu segera menghempaskan pantat seenaknya di dekat pendingin ruangan.
Hanya berbekal sebuah buku pendamping yang baru terbeli di toko sebelah. 
Aku mulai menghibur diri yang memang sedang sendiri tanpa teman. 
Terhenti pada suatu lembaran halaman.
Mencoba mengambil udara banyak-banyak dan membiarkan mataku istirahat sejenak. 
Entah karena jahil atau apa. 
Tapi mataku ini tersangkut pada sebuah tangan yang sangat aku kenal. 
Sayangnya bayang wajahnya tertutup di balik corak hiasan kaca penghalang.
Aku berdiri begitu saja. 
Jemari yang ku kenal itu sampai bisa aku rasakan dalam sekelebat angan. 
Dingin dan lembut seperti agar2 dalam kulkas. 
Aku pergi ke teras yang cukup panas lalu benar kutemukan pemilik jemari yang memang kukenal. 
Pandangannya menemukanku dan kedua pasang mata ini sama-sama berbinar. 
Mataku memeluk matanya. 
Tapi tangan kami hanya sebatas berjabat tangan sewajarnya.
Kutanya dengan siapa, dan ia jawab sedang sendiri saja.
Beruntungnya.
Kami berbincang mengacuhkan waktu yang terus saja mengetuk-ngetukkan jemarinya. 
Hingga malam pun datang. 
Di atas meja kami telah menyala lilin kecil yang berpendar. 
Dalam beberapa saat kami hanya terdiam. 
Saling khidmat dalam perdebatan api lilin yang melawan angin malam. 
Aku melirik menangkap sepasang mata yang tak kalah berbinar dibanding lilin di meja. 
Hey, kalian berdua.
Dengarkan aku sebentar saja. 
Aku pernah mencintainya. 
Pernah. 
Tapi tolong simpan saja.
Aku tak ingin ada luka. 
Luka yang akan merubah binar di matanya. 
Merubahnya menjadi tatapan kebencian tiada tara. 
Yang mungkin akan menatapku hina. 
Karena telah mengkhianati hubungan yang dianggapnya sudah sempurna.
Beginilah kami adanya. 
Dia akan selalu menjadi sahabat yang takkan pernah terlupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar